Rabu, 28 September 2011

Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nab

Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
  1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
  2. Siyar A’lam an-Nubala’
  3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
  4. http://muslim.or.id

Minggu, 05 Juni 2011

Pondok Pesantren Al Falah Pusat


Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso Kediri
 
Berawal dari keinginan mengamalkan ilmu pengetahuan agama yang didapatkannya dari kota Makkah al-Mukarromah, KH. Ahmad Djazuli Usman merintis berdirinya sebuah pondok pesantren. Bersama dengan Muhammad Qomar, salah seorang santrinya, ia merintis berdirinya pesantren dengan cara yang sangat sederhana. Ia memulainya dengan sebuah pengajian, yang ia rintis sejak masih berada di desa Karangkates.
Pengajian tersebut, dia mulai pertengahan 1924 dengan menggunakan sistem sorogan. Ketika pengajian baru dimulai hanya ada 12 orang santri yang mengikutinya. Namun tak lama kemudian, jumlah santri yang ingin mengaji semakin bertambah. Sehingga setengah tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri.
Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri. Aparat kantor kenaiban sering terganggu dengan aktifitas para santri. Untuk itu, pada tahun 1939 beliau segera membangun asrama santri yang sekarang bernama komplek A, sebuah asrama berlantai dua yang dilengkapi dengan musholla. Seirama dengan pergantian pemerintah penjajah dari Belanda ke Jepang, juga membawa suasana kelabu bagi pondok pesantren ini. Tentara Jepang sangat mencurigai kegiatan pondok pesaantren. Gerak gerik kiainya mereka awasi. Pengajian berlangsung dalam suasana tidak bebas. Kalaupun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Kondisi demikian diperburuk dengan masuknya agresi Belanda kesatu pada tanggal 18 September 1948. Para santri yang memiliki semangat jihad, terlibat pertempuran untuk mengusir Belanda. Mereka bahu mebahu dengan TNI.
Operasional pondok pesantren tersebut kembali normal, setelah agresi Belanda berlalu. Setelah dua tahun vakum, kehadiran pondok pesantren bagai gayung bersambut. Kehadiran Pondok Pesantren Al-Falah mengisi kekosongan pendidikan yang hancur lebur karena pertempuran. Simpati warga Kediri mereka tunjukkan dengan mengirm anak-anaknya “nyantri” di pesantren KH. A. Djazuli.
Masyarakat Sekitar
Masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah Ploso pada awalnya tergolong masyarakat abangan (jauh dari agama). Ketika awal berdiri, banyak masyarakatnya mencemooh pondok pesantren Al-Falah. Apalagi para pejabat dan bandar judi, yang setatus quonya mulai terganggu. Mereka sering menyebarkan isu-isu sesat terhadap pondok pesantren ini.
Fenomena semacam itu memang menjadi tantangan berat bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan simakan Al-Qur’an Mantab ini. Namun para pengurusnya tidak merasa gentar. Justru tantangan itu membulatkan tekad mereka untuk mengubah masyarakat abangan, menjadi masyarakat yang islami. Hasilnya seperti sekarang ini. Pesantren terus berkembang, dan kehidupan islami tercipta dengan sendiri di sekitar pondok pesantren.
Pondok pesantren yang letaknya ditepi sungai Barantas ini banyak mengambil keuntungan dari letak geografis tersebut. Sungai yang terkenal deras airnya dan terus mengalir sepanjang musim banyak memberikan kehidupan para santri serta para masyarakat sekitarnya. Dipinggir sungai inilah terletak desa Ploso, 15 km arah selatan dari Kediri. Potensi wilayah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Umumnya mereka memanfaatkan tanah yang subur ditepi sungai berantas untuk bercocok tanam.
Organisasi Kelembaganan
Ponpes Alfalah Ploso menganut sistem manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada figur seorang kiai memegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Manajemen semacam itu terus berlangsung sampai pada saat sekarang saat pesantren ini diasuh oleh KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli. KH. Zainuddin dalam mengasuh pesantren yang sering digunakan kegiatan tingkat regional ini dibantu para adik-adiknya dan saudara-saudaranya, seperti KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri, KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’), KH. Munif, Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan Gus Sabut putra almarhum Gus Mik (yang mengomandani Jama’ah Sima’an Al-Qur’an Mantab) dll.
Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah.
Program Pendidikan.
Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun).
Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun.
Selain program diatas masih ada kegiatan ekstra yang harus diikuti oleh semua santri, meliputi latihan berorganisasi, baca tahlil, muhafadhah, dibaiyah, kaligrafi dll. Juga ada kegiatan bahtsul masail. Program yang terakhir ini adalah sebagai wahana untuk melatih dan mencetak kader-kader syuriyah dan tem bahtsul bahsul masail. Dari majelis musyawarah ini telah terlahir kader-kader syuriyah NU di bidang bahtsul masail yang handal, diantaranya KH. Ardani Ahmad, KH. Arsyad, KH. Fanani. Mereka direkrut sebagai anggota lajnah bahtsul masail PWNU Jawa Timur. Dan masih banyak alumni yang lain yang berkcimpung di dunia organisasi NU dalam bidang yang lain.
Untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar di pesantren yang mengasuh santri hampir 2000 ini hanya mengandalkan darim iuran santri atau SPP yang besarnya uang pangkal Rp. 10.000,- SPP Rp. 5.000,- dan iuran lainnya Rp. 10.000,-
Kaderisasi
Kalau sering didengar banyak pondok pesantren mati dan tidak santrinya akibat tidak adanya penerus, maka untuk pesantren yang bangunannya terkesan mewah ini insya’allah tidak akan terjadi, sebab sebagai pengasuh KH. Zainuddin Djazuli sudah menyiapkan putra-putranya dengan mengirimkan keberbagai pondok pesantren. Seperti Gus Zidni, alumni pesantren Lirboyo dll. (m. muslih albaroni)

Nahdhotul Ulama' (NU)

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Sejarah

Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
 
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Tasawwuf Al Ghozali



“Kehidupan adalah Cinta dam Ibadah”

Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali 
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Alunan suara ayat-ayat suci Al-qur’an itu berkumandang dimalam yang sepi, dibawa angin malam hingga masuk ke telinga seorang lelaki yang sedang merenung dan memandang ke cakrawala yang luas, lalu meresap ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Lelaki itu lantas berguman “Maha suci Engkau, oh Tuhanku! Engkau selalu mengirimkan cahaya petunjuk-Mu setiap aku sedang dilanda keraguan”.
Lelaki itu adalah Hujjatul Islam, Imam Al-Ghozali. Siapapun mengenal Imam Ghozali, karena beliau adalah tokoh dan pemuka para sufi. Ulama yang mempunyai nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghozali dan dilaqobi Abu Hamid ini bisa menempuh derajat tinggi dan meninggalkan beberapa buku buah pikiran bukanlah hasil pikiran yang begitu saja keluar dari jiwa. Ia merupakan intisari dari perjuangan hati dan akal, wahyu dan ilham, serta karunia dan cahaya dari sumbernya yang tersembunyi.
Imam Ghozali adalah orang yang sedang mencari-cari petunjuk dan keyakinan. Dia telah menghabiskan umurnya sejak muda untuk menutut ilmu dan pengetahuan sampai akhirnya beliau mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemudian dia pun dicari oleh para raja, dan para ulama pun menghormatinya. Namun hatinya sedih dan bimbang, ia merasakan masih ada yang kurang pada dirinya, ia mencari sesuatu yang lebih tinggi dari perhiasan dan kesenangan dunia, cahaya yang lebih tinggi dari pengetahuan manusia. Ia mencari petunjuk dan keyakinan yang tetap dan mantap.
Dalam rangka mencari petunjuk dan cahaya Ilahi, ia sering mengurangi jam tidurnya, hingga matanya sembab dan sakit karena mencari kebenaran. Dia merenung dan berpikir, dia merasakan kekosongan iman telah memenuhi kehidupannya. Ia merasakan hidupnya bagaikan tanpa tujuan dan keyakinan. Lantas iapun mencari ilmu dengan gigihnya, pertama yang dipelajari adalah ilmu fiqih. Dia adalah termasuk orang yang sangat cerdas dan berpikiran kritis, namun dia tidak menyukai perdebatan dan adu mulut.
Selanjutnya dia belajar ilmu kalam dengan semua dalil-dalinya. Setelah puas kemudian beliau mempelajari filsafat, ilmu kebangaan akal manusia. Ia ingin memuaskan akalnya dengan teori-teori filsafat. Akan tetapi filsafat dirasakannya justru semakin menambah keraguan dan kebimbangan, bahkan mengajaknya lari dari pertimbangan akal.
Dalam keadaan seperti itu, Imam Ghozali memutuskan untuk lari dari manusia dan ilmu pengetahuan, ia berharap dapat menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Akhirnya beliau bertemu dengan seorang waliyullah, bernama Syekh Yusuf An-Nassaj. Ia lalu berguru dengannya, menyertainya untuk dibersihkan hatinya melalui riyadloh dan mujahadah hingga masuk kedalam keyakinan dan cahaya Ilahi. “Dahulu, aku tidak mempercayai “tingkah” orang-orang soleh, juga derajat para ‘arifin, hingga akhirnya aku berkenalan dengan guruku Syekh Yusuf An-Nassaj”, kata Imam Ghozali setelah menjadi murid Syeh Yusuf.
Menurut Imam Ghozali, Syekh Yusuf lah yang telah menggemblengnya dengan latihan-latihan jiwa (mujahadah) sampai dia mencapai suatu tingkatan dimana dia bisa berkomunikasi dengan Allah Ta’ala.
Dalam pengembaraan mimpinya, ia melihat Allah Ta’ala. Allah ta’ala berkata kepadanya: “Hai Abu Hamid!,
Imam Ghozali menjawab; “Syetankah yang berbicara denganku?”,
“Tidak, tetapi Aku-lah Allah yang meliputi enam arahmu”, Jawab-Nya. Kemudian Allah Swt melanjutkan, “Hai Abu Hamid, bersahabatlah dengan kaum yang Aku jadikan sebagai obyek pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang telah menjual dua alamnya (dunia dan akhirat) dengan kecintaan kepada-Ku”.
“Demi Izzah-Mu oh Tuhan, tanamkanlah prasangka baik dalam hatiku terhadap mereka”, kata Imam Ghozali.
Allah menjawab, “Sudah Aku lakukan. Sebenarnya yang memisahkan engkau dan mereka adalah karena kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah engkau dengan pilihanmu sendiri sebelum engkau keluar darinya dalam keadaan terhina. Aku telah menganugerahkan kepadamu cahaya dari sisi Qudus-Ku”.
Kemudian Imam Ghozali terbangun dari tidurnya dengan perasaan senang dan gembira, lalu dia pergi menemui gurunya, Syekh Yusuf An-Nassaj dan menceritakan tentang mimpinya semalam. Syekh Yusuf tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah permulaan. Seandainya engkau terus menerus menemaniku, akan aku celaki matamu dengan celak ta’yid, sehingga engkau dapat memandang ‘arsy dan hal-hal yang berada di sekelilingnya. Kemudian engkau tidak rela sampai engkau dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan mata. Maka akhirnya tabiat (watak)-mu menjadi jernih, naik ke atas kekuasaan akalmu, lalu engkau akan mendengar ucapan Allah ta’ala, seperti ucapan-Nya kepada Nabi Musa as.
Kesibukan dunia adalah penghalang yang harus dihilangkan oleh Imam Ghozali, dan cintanya kepada Allah serta menyatu dalam ibadah-Nya adalah tetesan cahaya pertama dalam anugerah ini. Karena itulah kemudian Imam Ghozali menempuh jalan tasawwuf dan berjuang keras hingga akhirnya menjadi salah seorang tokoh dan pemukanya yang terkenal.
“Semua syahwat (kesenangan) dunia bergantung pada nafsu, dan nafsu akan lenyap bersama kematian. Sebaliknya, kelezatan ma’rifat kepada Allah bergantung pada kalbu, dan kalbu tidak akan rusak bersama kematian. Bahkan, kelezatannya akan lebih banyak dan cahayanya akan lebih besar, sebab ia keluar dari kegelapan menuju cahaya”.
Imam Ghozali telah menjelaskan dengan yakin dan pasti bahwa kehidupan yang utama dan bahagia adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (cinta Allah). Sedangkan ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling tinggi dan mulia. Sebab semua kenikmatan selain dari ibadah adalah fana (tidak kekal). Semua tujuan selain ibadah adalah sia-sia. Karena itulah, risalah Al-Ghozali teringkas dalam kalimat yang pendek: “Kehidupan adalah cinta dan ibadah”.
Pikirannya senantiasa terfokus pada pencarian hidayah-Nya dari langit. Semua amalnya selalu berstempelkan iman. Dakwahnya terang dan jelas, tanpa dicampuri oleh perdebatan dan riya’ (mengharap sanjungan), hanya iman kepada Sang Pencipta yang mengetahui segala bisikan hati dan perbuatan manusia. (m.muslih albaroni)

Kamis, 02 Juni 2011

Pondok Pesantren Al Falah IV


Letak Pondok Pesantren Al Falah IV, di desa Penantian Kecamatan Banding Agung, Al Falah IV berdiri di tanah RAWA (orang menyebutnya telogo) di wilayah Danau Ranau kaki Gunung Seminung,  bangunan Pondok Pesantren Al falah didirikan pada pertengahan tahun 1999 oleh Al Mukharom Ky. Imam Syarbini, dari Sumber Mulyo BK 3  Belitang. Permulaan beliau memiliki santri yang beliau bawa dari Pondok Pesantren Al Alfalah 1 Sumber Mulyo. Metode yang dugunakan kono ( sorogan ) dengan memanfaatkan serambi gothaa'n-gotha'an dan mushola yang terbuat dari bambu (angkring). Dengan semakin banyaknya santri yang menimba ilmu dari beliau akhirnya di bangunlah gedung madrasah. Tanpa terasa santri yang belajar dengan Ky. Imam Syarbini membengkak. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri.... more >