Minggu, 05 Juni 2011

Pondok Pesantren Al Falah Pusat


Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso Kediri
 
Berawal dari keinginan mengamalkan ilmu pengetahuan agama yang didapatkannya dari kota Makkah al-Mukarromah, KH. Ahmad Djazuli Usman merintis berdirinya sebuah pondok pesantren. Bersama dengan Muhammad Qomar, salah seorang santrinya, ia merintis berdirinya pesantren dengan cara yang sangat sederhana. Ia memulainya dengan sebuah pengajian, yang ia rintis sejak masih berada di desa Karangkates.
Pengajian tersebut, dia mulai pertengahan 1924 dengan menggunakan sistem sorogan. Ketika pengajian baru dimulai hanya ada 12 orang santri yang mengikutinya. Namun tak lama kemudian, jumlah santri yang ingin mengaji semakin bertambah. Sehingga setengah tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1925, KH. A. Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Ia memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri.
Tanpa terasa santri yang belajar dengan KH. A.Djazuli membengkak menjadi 100 orang. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri. Aparat kantor kenaiban sering terganggu dengan aktifitas para santri. Untuk itu, pada tahun 1939 beliau segera membangun asrama santri yang sekarang bernama komplek A, sebuah asrama berlantai dua yang dilengkapi dengan musholla. Seirama dengan pergantian pemerintah penjajah dari Belanda ke Jepang, juga membawa suasana kelabu bagi pondok pesantren ini. Tentara Jepang sangat mencurigai kegiatan pondok pesaantren. Gerak gerik kiainya mereka awasi. Pengajian berlangsung dalam suasana tidak bebas. Kalaupun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Kondisi demikian diperburuk dengan masuknya agresi Belanda kesatu pada tanggal 18 September 1948. Para santri yang memiliki semangat jihad, terlibat pertempuran untuk mengusir Belanda. Mereka bahu mebahu dengan TNI.
Operasional pondok pesantren tersebut kembali normal, setelah agresi Belanda berlalu. Setelah dua tahun vakum, kehadiran pondok pesantren bagai gayung bersambut. Kehadiran Pondok Pesantren Al-Falah mengisi kekosongan pendidikan yang hancur lebur karena pertempuran. Simpati warga Kediri mereka tunjukkan dengan mengirm anak-anaknya “nyantri” di pesantren KH. A. Djazuli.
Masyarakat Sekitar
Masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Falah Ploso pada awalnya tergolong masyarakat abangan (jauh dari agama). Ketika awal berdiri, banyak masyarakatnya mencemooh pondok pesantren Al-Falah. Apalagi para pejabat dan bandar judi, yang setatus quonya mulai terganggu. Mereka sering menyebarkan isu-isu sesat terhadap pondok pesantren ini.
Fenomena semacam itu memang menjadi tantangan berat bagi pesantren yang menjadi pusat kegiatan simakan Al-Qur’an Mantab ini. Namun para pengurusnya tidak merasa gentar. Justru tantangan itu membulatkan tekad mereka untuk mengubah masyarakat abangan, menjadi masyarakat yang islami. Hasilnya seperti sekarang ini. Pesantren terus berkembang, dan kehidupan islami tercipta dengan sendiri di sekitar pondok pesantren.
Pondok pesantren yang letaknya ditepi sungai Barantas ini banyak mengambil keuntungan dari letak geografis tersebut. Sungai yang terkenal deras airnya dan terus mengalir sepanjang musim banyak memberikan kehidupan para santri serta para masyarakat sekitarnya. Dipinggir sungai inilah terletak desa Ploso, 15 km arah selatan dari Kediri. Potensi wilayah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Umumnya mereka memanfaatkan tanah yang subur ditepi sungai berantas untuk bercocok tanam.
Organisasi Kelembaganan
Ponpes Alfalah Ploso menganut sistem manajemen tradisional, dalam arti, kepemimpinan tunggal yang tersentral pada figur seorang kiai memegang otoritas yang tinggi dalam pengelolaan pesantren. Manajemen semacam itu terus berlangsung sampai pada saat sekarang saat pesantren ini diasuh oleh KH. Zainuddin Djazuli putra Kiai Djazuli. KH. Zainuddin dalam mengasuh pesantren yang sering digunakan kegiatan tingkat regional ini dibantu para adik-adiknya dan saudara-saudaranya, seperti KH. Nurul Huda (Gus Dah) yang mengasuh pondok pesantren putri, KH. Fuad Mun’im (Gus Fu’), KH. Munif, Bu Nyai Hj. Badriyah (Bu Bad) dan Gus Sabut putra almarhum Gus Mik (yang mengomandani Jama’ah Sima’an Al-Qur’an Mantab) dll.
Pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri sebagaimana kebanyakan pesantren di kota Kediri merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran model salafaiyah.
Program Pendidikan.
Program pendidikan dan pengajaran di ponpes Al-Falah, terdiri dari: Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun), Madrasah Tsanawiyah (4 tahun) , dan Majelis Musyawarah Riyadlotut Tholabah (5 tahun).
Pada tingkat Ibtidaiyah materi yang banyak ditekankan adalah masalah akidah dan akhlak, sedangkan untuk tingkat Tsanawiyah ditekankan pada materi ilmu nahwu / sharaf dan ditambah ilmu fiqih, faroidl serta balaghah. Adapun Majelis Musyawarah merupakan kegiatan kajian kitab fiqih, yakni Fathul Qorib, selama satu tahun, Kitab Fathul Mu’in selama 1 tahun dan Fathul Wahab selama 3 tahun.
Selain program diatas masih ada kegiatan ekstra yang harus diikuti oleh semua santri, meliputi latihan berorganisasi, baca tahlil, muhafadhah, dibaiyah, kaligrafi dll. Juga ada kegiatan bahtsul masail. Program yang terakhir ini adalah sebagai wahana untuk melatih dan mencetak kader-kader syuriyah dan tem bahtsul bahsul masail. Dari majelis musyawarah ini telah terlahir kader-kader syuriyah NU di bidang bahtsul masail yang handal, diantaranya KH. Ardani Ahmad, KH. Arsyad, KH. Fanani. Mereka direkrut sebagai anggota lajnah bahtsul masail PWNU Jawa Timur. Dan masih banyak alumni yang lain yang berkcimpung di dunia organisasi NU dalam bidang yang lain.
Untuk menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar di pesantren yang mengasuh santri hampir 2000 ini hanya mengandalkan darim iuran santri atau SPP yang besarnya uang pangkal Rp. 10.000,- SPP Rp. 5.000,- dan iuran lainnya Rp. 10.000,-
Kaderisasi
Kalau sering didengar banyak pondok pesantren mati dan tidak santrinya akibat tidak adanya penerus, maka untuk pesantren yang bangunannya terkesan mewah ini insya’allah tidak akan terjadi, sebab sebagai pengasuh KH. Zainuddin Djazuli sudah menyiapkan putra-putranya dengan mengirimkan keberbagai pondok pesantren. Seperti Gus Zidni, alumni pesantren Lirboyo dll. (m. muslih albaroni)

Nahdhotul Ulama' (NU)

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Sejarah

Masjid Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama
 
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Tasawwuf Al Ghozali



“Kehidupan adalah Cinta dam Ibadah”

Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali 
“Negeri akhirat itu kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Alunan suara ayat-ayat suci Al-qur’an itu berkumandang dimalam yang sepi, dibawa angin malam hingga masuk ke telinga seorang lelaki yang sedang merenung dan memandang ke cakrawala yang luas, lalu meresap ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Lelaki itu lantas berguman “Maha suci Engkau, oh Tuhanku! Engkau selalu mengirimkan cahaya petunjuk-Mu setiap aku sedang dilanda keraguan”.
Lelaki itu adalah Hujjatul Islam, Imam Al-Ghozali. Siapapun mengenal Imam Ghozali, karena beliau adalah tokoh dan pemuka para sufi. Ulama yang mempunyai nama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghozali dan dilaqobi Abu Hamid ini bisa menempuh derajat tinggi dan meninggalkan beberapa buku buah pikiran bukanlah hasil pikiran yang begitu saja keluar dari jiwa. Ia merupakan intisari dari perjuangan hati dan akal, wahyu dan ilham, serta karunia dan cahaya dari sumbernya yang tersembunyi.
Imam Ghozali adalah orang yang sedang mencari-cari petunjuk dan keyakinan. Dia telah menghabiskan umurnya sejak muda untuk menutut ilmu dan pengetahuan sampai akhirnya beliau mencapai tingkat yang paling tinggi. Kemudian dia pun dicari oleh para raja, dan para ulama pun menghormatinya. Namun hatinya sedih dan bimbang, ia merasakan masih ada yang kurang pada dirinya, ia mencari sesuatu yang lebih tinggi dari perhiasan dan kesenangan dunia, cahaya yang lebih tinggi dari pengetahuan manusia. Ia mencari petunjuk dan keyakinan yang tetap dan mantap.
Dalam rangka mencari petunjuk dan cahaya Ilahi, ia sering mengurangi jam tidurnya, hingga matanya sembab dan sakit karena mencari kebenaran. Dia merenung dan berpikir, dia merasakan kekosongan iman telah memenuhi kehidupannya. Ia merasakan hidupnya bagaikan tanpa tujuan dan keyakinan. Lantas iapun mencari ilmu dengan gigihnya, pertama yang dipelajari adalah ilmu fiqih. Dia adalah termasuk orang yang sangat cerdas dan berpikiran kritis, namun dia tidak menyukai perdebatan dan adu mulut.
Selanjutnya dia belajar ilmu kalam dengan semua dalil-dalinya. Setelah puas kemudian beliau mempelajari filsafat, ilmu kebangaan akal manusia. Ia ingin memuaskan akalnya dengan teori-teori filsafat. Akan tetapi filsafat dirasakannya justru semakin menambah keraguan dan kebimbangan, bahkan mengajaknya lari dari pertimbangan akal.
Dalam keadaan seperti itu, Imam Ghozali memutuskan untuk lari dari manusia dan ilmu pengetahuan, ia berharap dapat menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Akhirnya beliau bertemu dengan seorang waliyullah, bernama Syekh Yusuf An-Nassaj. Ia lalu berguru dengannya, menyertainya untuk dibersihkan hatinya melalui riyadloh dan mujahadah hingga masuk kedalam keyakinan dan cahaya Ilahi. “Dahulu, aku tidak mempercayai “tingkah” orang-orang soleh, juga derajat para ‘arifin, hingga akhirnya aku berkenalan dengan guruku Syekh Yusuf An-Nassaj”, kata Imam Ghozali setelah menjadi murid Syeh Yusuf.
Menurut Imam Ghozali, Syekh Yusuf lah yang telah menggemblengnya dengan latihan-latihan jiwa (mujahadah) sampai dia mencapai suatu tingkatan dimana dia bisa berkomunikasi dengan Allah Ta’ala.
Dalam pengembaraan mimpinya, ia melihat Allah Ta’ala. Allah ta’ala berkata kepadanya: “Hai Abu Hamid!,
Imam Ghozali menjawab; “Syetankah yang berbicara denganku?”,
“Tidak, tetapi Aku-lah Allah yang meliputi enam arahmu”, Jawab-Nya. Kemudian Allah Swt melanjutkan, “Hai Abu Hamid, bersahabatlah dengan kaum yang Aku jadikan sebagai obyek pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang telah menjual dua alamnya (dunia dan akhirat) dengan kecintaan kepada-Ku”.
“Demi Izzah-Mu oh Tuhan, tanamkanlah prasangka baik dalam hatiku terhadap mereka”, kata Imam Ghozali.
Allah menjawab, “Sudah Aku lakukan. Sebenarnya yang memisahkan engkau dan mereka adalah karena kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah engkau dengan pilihanmu sendiri sebelum engkau keluar darinya dalam keadaan terhina. Aku telah menganugerahkan kepadamu cahaya dari sisi Qudus-Ku”.
Kemudian Imam Ghozali terbangun dari tidurnya dengan perasaan senang dan gembira, lalu dia pergi menemui gurunya, Syekh Yusuf An-Nassaj dan menceritakan tentang mimpinya semalam. Syekh Yusuf tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah permulaan. Seandainya engkau terus menerus menemaniku, akan aku celaki matamu dengan celak ta’yid, sehingga engkau dapat memandang ‘arsy dan hal-hal yang berada di sekelilingnya. Kemudian engkau tidak rela sampai engkau dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai dengan mata. Maka akhirnya tabiat (watak)-mu menjadi jernih, naik ke atas kekuasaan akalmu, lalu engkau akan mendengar ucapan Allah ta’ala, seperti ucapan-Nya kepada Nabi Musa as.
Kesibukan dunia adalah penghalang yang harus dihilangkan oleh Imam Ghozali, dan cintanya kepada Allah serta menyatu dalam ibadah-Nya adalah tetesan cahaya pertama dalam anugerah ini. Karena itulah kemudian Imam Ghozali menempuh jalan tasawwuf dan berjuang keras hingga akhirnya menjadi salah seorang tokoh dan pemukanya yang terkenal.
“Semua syahwat (kesenangan) dunia bergantung pada nafsu, dan nafsu akan lenyap bersama kematian. Sebaliknya, kelezatan ma’rifat kepada Allah bergantung pada kalbu, dan kalbu tidak akan rusak bersama kematian. Bahkan, kelezatannya akan lebih banyak dan cahayanya akan lebih besar, sebab ia keluar dari kegelapan menuju cahaya”.
Imam Ghozali telah menjelaskan dengan yakin dan pasti bahwa kehidupan yang utama dan bahagia adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mahabbatullah (cinta Allah). Sedangkan ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang paling tinggi dan mulia. Sebab semua kenikmatan selain dari ibadah adalah fana (tidak kekal). Semua tujuan selain ibadah adalah sia-sia. Karena itulah, risalah Al-Ghozali teringkas dalam kalimat yang pendek: “Kehidupan adalah cinta dan ibadah”.
Pikirannya senantiasa terfokus pada pencarian hidayah-Nya dari langit. Semua amalnya selalu berstempelkan iman. Dakwahnya terang dan jelas, tanpa dicampuri oleh perdebatan dan riya’ (mengharap sanjungan), hanya iman kepada Sang Pencipta yang mengetahui segala bisikan hati dan perbuatan manusia. (m.muslih albaroni)

Kamis, 02 Juni 2011

Pondok Pesantren Al Falah IV


Letak Pondok Pesantren Al Falah IV, di desa Penantian Kecamatan Banding Agung, Al Falah IV berdiri di tanah RAWA (orang menyebutnya telogo) di wilayah Danau Ranau kaki Gunung Seminung,  bangunan Pondok Pesantren Al falah didirikan pada pertengahan tahun 1999 oleh Al Mukharom Ky. Imam Syarbini, dari Sumber Mulyo BK 3  Belitang. Permulaan beliau memiliki santri yang beliau bawa dari Pondok Pesantren Al Alfalah 1 Sumber Mulyo. Metode yang dugunakan kono ( sorogan ) dengan memanfaatkan serambi gothaa'n-gotha'an dan mushola yang terbuat dari bambu (angkring). Dengan semakin banyaknya santri yang menimba ilmu dari beliau akhirnya di bangunlah gedung madrasah. Tanpa terasa santri yang belajar dengan Ky. Imam Syarbini membengkak. Sebuah kenaiban pun, ia pakai sebagai tempat belajar. Cuma yang menjadi persoalan, seiring dengan semakin bertambahnya santri, fasilitas kenaiban tersebut tak bisa lama-lama ia pakai sebagai tempat belajar para santri.... more >